Berharap dengan Benar

It’s been a while!

Post pertama tahun ini saya mulai dengan topik tentang Harapan. Walau sudah jauh lewat dari Tahun Baru, tapi membahas tentang harapan pasti tidak pernah terkesan terlambat. Setiap saat kita harus berharap kan?

Beberapa waktu yang lalu saya membaca buku The Case for Hope yang ditulis oleh Lee Strobel. Salah satu pernyataan menarik yang ditulis di situ adalah, “And hope is only hope when there’s still some measure of the unknown that lies ahead of us.” (Harapan adalah harapan hanya jika masih ada sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti). Pernyataan ini sebenarnya adalah ungkapan lain dari apa yang ditulis Santo Paulus di Roma 8:24 maupun surat kepada orang Ibrani di Ibrani 11:1.

Saat mulai memasuki tahun 2021 seharusnya saya memulainya dengan harapan. Tapi ternyata kadang untuk berharap saja sangat sulit, apalagi ketika apa yang terjadi di sekitar saya tampaknya tidak mendukung apa yang saya harapkan. Saya teringat pengalaman saya beberapa bulan sebelumnya di mana dalam sebuah Lectio Divina, saya mendapat pesan melalui ayat “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5:5). Waktu itu saya pikir, apa yang saya harapkan akan segera menjadi kenyataan. Apalagi beberapa waktu kemudian, dalam kesempatan Lectio Divina lainnya, saya mendapat peneguhan dari ayat “Tetapi seperti ada tertulis: ‘Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.’ ” (1 Kor 2:9). Namun setelah menunggu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, apa yang saya harapkan itu tidak kunjung saya dapatkan. Saya menjadi kecewa dan kehilangan semangat untuk berharap. Saat itulah, saya bertanya kepada Tuhan dalam sebuah doa malam, “Tuhan, kok Engkau PHP ke aku sih??” Saya tidak mengerti mengapa Tuhan seolah menjanjikan sesuatu tetapi tidak juga menepatinya. Saya mulai meragukan iman saya. Jangan-jangan renungan dan pesan yang kudapat waktu Lectio Divina kemarin itu keliru. Jangan-jangan itu hanya keinginanku sendiri. Jangan-jangan Tuhan tidak ingin aku bahagia. Semakin banyak prasangka saya kepada Tuhan. Akhirnya karena lelah berprasangka, saya pun bertanya kembali dan memberanikan diri memohon tanda dariNya.

“Tuhan, kalau memang pemahamanku kemarin saat Lectio Divina itu salah, kalau apa yang kuanggap ‘pesan’ dariMu itu ternyata hanya hasil pemikiranku sendiri, tolong tunjukkan kepadaku.”

Dan malam itu juga saya bermimpi.

Saya bermimpi ada di sebuah hamparan pasir yang luas. Saya sedang membonceng motor dan seorang pria (yang tidak saya kenal wajahnya, tetapi di mimpi itu saya seperti sudah mengenalnya) duduk di depan mengendarai motor itu. Motor itu bergerak maju melewati hamparan pasir sampai kemudian ada sebuah turunan tajam. Turunan itu sangat curam, mungkin hampir 90 derajat. Saya pun menjadi takut. Saat itu pria tadi bertanya kepada saya, “Apakah kamu percaya kepadaku?” Dalam mimpi itu tanpa gentar saya menjawab, “Ya, aku percaya karena kamu sudah pernah melewati jalan ini dan kamu tahu tempat yang akan kita tuju.” Maka saya pun memegang pinggang pria itu erat-erat. Dia mengendarai motornya dan kami pun berhasil melewati turunan yang amat tajam itu dengan selamat. Setelah itu kami melewati jalan pasir yang datar dan tampak laut yang amat luas di depan kami. Kami pun turun dari motor dan memandang laut itu. Sungguh laut yang amat jernih! Saya tidak pernah melihat lautan sejernih itu seumur hidup saya! Kemudian pria itu mengajak saya untuk menikmati pemandangan itu dan bahkan saat itu saya seperti bisa melihat jernihnya laut itu dari langit. Kemudian kami pun beranjak dari tempat itu menuju penginapan. Di sana, kami berbagi cerita tentang keindahan tempat yang kami kunjungi tadi dengan orang-orang yang kami temui di penginapan itu.

Setidaknya itulah penggalan adegan yang saya ingat dengan sangat jelas (bahkan hingga saat ini saya masih bisa mengingat perasaan saya ketika melihat betapa jernihnya air laut itu!). Ketika saya mencoba merenungkan makna mimpi itu, saya memahami bahwa pria yang mengendarai motor itu adalah Tuhan Yesus. Ia menjanjikan sesuatu yang bahkan tidak pernah saya lihat, tidak pernah saya bayangkan. Tetapi untuk menuju ke sana, saya harus benar-benar percaya dan berpegang padaNya. Mungkin jalannya akan sulit, tetapi selama saya berpegang padaNya, saya pasti akan bisa mencapai tujuan yang indah itu. Ketika menyadari hal ini, saya menangis. Saya menyadari bahwa saat ini saya sering ingin mengendalikan sendiri kehidupan saya. Saya merasa sok tahu dengan apa yang saya pikir akan membuat saya bahagia jika saya mencapainya. Saya protes ketika apa yang saya pikir akan membahagiakan saya itu tidak kunjung dikabulkan oleh Tuhan. Tetapi lewat mimpi itu, saya diingatkan bahwa kebahagiaan itu bukan sekedar soal satu keinginan saya. Sayalah yang membatasi harapan saya hanya pada hal-hal tertentu yang saya inginkan. Padahal Tuhan mau membawa saya menuju kebahagiaan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, yang bahkan mengatasi hal-hal yang saya inginkan saat ini.

Tentu saja mimpi itu tidak serta merta melenyapkan kebimbangan saya. Tetapi seperti yang dikatakan Lee Strobel tadi, harapan adalah sebuah harapan selama ada sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti. Menunggu sesuatu untuk digenapi memang membuat kita seringkali tidak sabar. Kita ingin cepat-cepat mengetahui kepastian. Tetapi jika semuanya sudah kita ketahui, maka itu jelas bukan lagi sebuah harapan. Harapan kita baru akan tergenapi secara sempurna ketika kita berjumpa dengan Tuhan. Namun demikian, untuk harapan-harapan manusiawi kita, saya percaya Tuhan punya cara dan waktuNya sendiri untuk menggenapinya. Mungkin kita belum menerima apa yang kita harapkan karena Ia ingin kita belajar untuk secara tulus menyerahkan hidup kita kepadaNya. Mungkin Tuhan ingin membentuk kita menjadi lebih siap untuk menerima apa yang kita harapkan. Atau mungkin, Tuhan punya rencana yang jauh lebih besar dari apa yang kita bayangkan.

Di akhir tulisan ini, saya ingin membagikan pengalaman saya ketika mengisi air di gelas dari dispenser. Saat itu sudah malam dan lampu ruang tamu sudah dimatikan. Saya berjalan menuju ruang tamu untuk mengambil air dari dispenser. Saya meletakkan gelas saya di bagian tengah lalu menekan tombol untuk mengeluarkan air hangat. Tetapi gelas saya masih kosong. Saya menekan tombol itu lagi, tetapi gelas saya masih juga tidak terisi air. Saat itu saya baru sadar bahwa saya meletakkan gelas saya di tempat yang salah. Saya menekan tombol air hangat di sebelah kiri, tetapi gelas saya diletakkan di bagian tengah. Air hangatnya sebetulnya sudah mengalir dari tadi, tetapi karena posisi gelas saya salah, tentu saja gelas saya tidak akan terisi air. Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa begitulah yang terjadi jika saya meletakkan harapan di tempat yang salah. Saya sering meminta jawaban “ya” dari Tuhan dan saya menanti. Saat telah lama saya tidak mendapatkan jawaban “ya” itu, saya menjadi lelah. Padahal mungkin sebenarnya Tuhan sudah menjawab, dan jawabanNya itu tidak seperti yang saya harapkan.

Teman-teman terkasih, janganlah berhenti berharap, tetapi berharaplah dengan benar. Pengharapan yang benar tentu adalah berharap hanya kepada Tuhan. JawabanNya mungkin tidak seperti apa yang kita inginkan, tetapi jika kita berharap dengan benar, kita tidak akan larut dalam kekecewaan karena kita tahu Ia pasti merencanakan hal yang jauh lebih baik untuk hidup kita. Pengharapan kepada Tuhan selalu memberikan semangat yang baru untuk bangkit, bahkan jika keadaan di sekitar kita membuat kita merasa mau menyerah saja. Semoga kita semua selalu dan semakin dikuatkan dalam pengharapan yang benar dan semoga kita semakin peka untuk menerima jawaban Tuhan atas setiap pengharapan kita. Tuhan memberkati!

Leave a comment