0

Berharap dengan Benar

It’s been a while!

Post pertama tahun ini saya mulai dengan topik tentang Harapan. Walau sudah jauh lewat dari Tahun Baru, tapi membahas tentang harapan pasti tidak pernah terkesan terlambat. Setiap saat kita harus berharap kan?

Beberapa waktu yang lalu saya membaca buku The Case for Hope yang ditulis oleh Lee Strobel. Salah satu pernyataan menarik yang ditulis di situ adalah, “And hope is only hope when there’s still some measure of the unknown that lies ahead of us.” (Harapan adalah harapan hanya jika masih ada sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti). Pernyataan ini sebenarnya adalah ungkapan lain dari apa yang ditulis Santo Paulus di Roma 8:24 maupun surat kepada orang Ibrani di Ibrani 11:1.

Saat mulai memasuki tahun 2021 seharusnya saya memulainya dengan harapan. Tapi ternyata kadang untuk berharap saja sangat sulit, apalagi ketika apa yang terjadi di sekitar saya tampaknya tidak mendukung apa yang saya harapkan. Saya teringat pengalaman saya beberapa bulan sebelumnya di mana dalam sebuah Lectio Divina, saya mendapat pesan melalui ayat “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5:5). Waktu itu saya pikir, apa yang saya harapkan akan segera menjadi kenyataan. Apalagi beberapa waktu kemudian, dalam kesempatan Lectio Divina lainnya, saya mendapat peneguhan dari ayat “Tetapi seperti ada tertulis: ‘Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.’ ” (1 Kor 2:9). Namun setelah menunggu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, apa yang saya harapkan itu tidak kunjung saya dapatkan. Saya menjadi kecewa dan kehilangan semangat untuk berharap. Saat itulah, saya bertanya kepada Tuhan dalam sebuah doa malam, “Tuhan, kok Engkau PHP ke aku sih??” Saya tidak mengerti mengapa Tuhan seolah menjanjikan sesuatu tetapi tidak juga menepatinya. Saya mulai meragukan iman saya. Jangan-jangan renungan dan pesan yang kudapat waktu Lectio Divina kemarin itu keliru. Jangan-jangan itu hanya keinginanku sendiri. Jangan-jangan Tuhan tidak ingin aku bahagia. Semakin banyak prasangka saya kepada Tuhan. Akhirnya karena lelah berprasangka, saya pun bertanya kembali dan memberanikan diri memohon tanda dariNya.

“Tuhan, kalau memang pemahamanku kemarin saat Lectio Divina itu salah, kalau apa yang kuanggap ‘pesan’ dariMu itu ternyata hanya hasil pemikiranku sendiri, tolong tunjukkan kepadaku.”

Dan malam itu juga saya bermimpi.

Saya bermimpi ada di sebuah hamparan pasir yang luas. Saya sedang membonceng motor dan seorang pria (yang tidak saya kenal wajahnya, tetapi di mimpi itu saya seperti sudah mengenalnya) duduk di depan mengendarai motor itu. Motor itu bergerak maju melewati hamparan pasir sampai kemudian ada sebuah turunan tajam. Turunan itu sangat curam, mungkin hampir 90 derajat. Saya pun menjadi takut. Saat itu pria tadi bertanya kepada saya, “Apakah kamu percaya kepadaku?” Dalam mimpi itu tanpa gentar saya menjawab, “Ya, aku percaya karena kamu sudah pernah melewati jalan ini dan kamu tahu tempat yang akan kita tuju.” Maka saya pun memegang pinggang pria itu erat-erat. Dia mengendarai motornya dan kami pun berhasil melewati turunan yang amat tajam itu dengan selamat. Setelah itu kami melewati jalan pasir yang datar dan tampak laut yang amat luas di depan kami. Kami pun turun dari motor dan memandang laut itu. Sungguh laut yang amat jernih! Saya tidak pernah melihat lautan sejernih itu seumur hidup saya! Kemudian pria itu mengajak saya untuk menikmati pemandangan itu dan bahkan saat itu saya seperti bisa melihat jernihnya laut itu dari langit. Kemudian kami pun beranjak dari tempat itu menuju penginapan. Di sana, kami berbagi cerita tentang keindahan tempat yang kami kunjungi tadi dengan orang-orang yang kami temui di penginapan itu.

Setidaknya itulah penggalan adegan yang saya ingat dengan sangat jelas (bahkan hingga saat ini saya masih bisa mengingat perasaan saya ketika melihat betapa jernihnya air laut itu!). Ketika saya mencoba merenungkan makna mimpi itu, saya memahami bahwa pria yang mengendarai motor itu adalah Tuhan Yesus. Ia menjanjikan sesuatu yang bahkan tidak pernah saya lihat, tidak pernah saya bayangkan. Tetapi untuk menuju ke sana, saya harus benar-benar percaya dan berpegang padaNya. Mungkin jalannya akan sulit, tetapi selama saya berpegang padaNya, saya pasti akan bisa mencapai tujuan yang indah itu. Ketika menyadari hal ini, saya menangis. Saya menyadari bahwa saat ini saya sering ingin mengendalikan sendiri kehidupan saya. Saya merasa sok tahu dengan apa yang saya pikir akan membuat saya bahagia jika saya mencapainya. Saya protes ketika apa yang saya pikir akan membahagiakan saya itu tidak kunjung dikabulkan oleh Tuhan. Tetapi lewat mimpi itu, saya diingatkan bahwa kebahagiaan itu bukan sekedar soal satu keinginan saya. Sayalah yang membatasi harapan saya hanya pada hal-hal tertentu yang saya inginkan. Padahal Tuhan mau membawa saya menuju kebahagiaan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, yang bahkan mengatasi hal-hal yang saya inginkan saat ini.

Tentu saja mimpi itu tidak serta merta melenyapkan kebimbangan saya. Tetapi seperti yang dikatakan Lee Strobel tadi, harapan adalah sebuah harapan selama ada sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti. Menunggu sesuatu untuk digenapi memang membuat kita seringkali tidak sabar. Kita ingin cepat-cepat mengetahui kepastian. Tetapi jika semuanya sudah kita ketahui, maka itu jelas bukan lagi sebuah harapan. Harapan kita baru akan tergenapi secara sempurna ketika kita berjumpa dengan Tuhan. Namun demikian, untuk harapan-harapan manusiawi kita, saya percaya Tuhan punya cara dan waktuNya sendiri untuk menggenapinya. Mungkin kita belum menerima apa yang kita harapkan karena Ia ingin kita belajar untuk secara tulus menyerahkan hidup kita kepadaNya. Mungkin Tuhan ingin membentuk kita menjadi lebih siap untuk menerima apa yang kita harapkan. Atau mungkin, Tuhan punya rencana yang jauh lebih besar dari apa yang kita bayangkan.

Di akhir tulisan ini, saya ingin membagikan pengalaman saya ketika mengisi air di gelas dari dispenser. Saat itu sudah malam dan lampu ruang tamu sudah dimatikan. Saya berjalan menuju ruang tamu untuk mengambil air dari dispenser. Saya meletakkan gelas saya di bagian tengah lalu menekan tombol untuk mengeluarkan air hangat. Tetapi gelas saya masih kosong. Saya menekan tombol itu lagi, tetapi gelas saya masih juga tidak terisi air. Saat itu saya baru sadar bahwa saya meletakkan gelas saya di tempat yang salah. Saya menekan tombol air hangat di sebelah kiri, tetapi gelas saya diletakkan di bagian tengah. Air hangatnya sebetulnya sudah mengalir dari tadi, tetapi karena posisi gelas saya salah, tentu saja gelas saya tidak akan terisi air. Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa begitulah yang terjadi jika saya meletakkan harapan di tempat yang salah. Saya sering meminta jawaban “ya” dari Tuhan dan saya menanti. Saat telah lama saya tidak mendapatkan jawaban “ya” itu, saya menjadi lelah. Padahal mungkin sebenarnya Tuhan sudah menjawab, dan jawabanNya itu tidak seperti yang saya harapkan.

Teman-teman terkasih, janganlah berhenti berharap, tetapi berharaplah dengan benar. Pengharapan yang benar tentu adalah berharap hanya kepada Tuhan. JawabanNya mungkin tidak seperti apa yang kita inginkan, tetapi jika kita berharap dengan benar, kita tidak akan larut dalam kekecewaan karena kita tahu Ia pasti merencanakan hal yang jauh lebih baik untuk hidup kita. Pengharapan kepada Tuhan selalu memberikan semangat yang baru untuk bangkit, bahkan jika keadaan di sekitar kita membuat kita merasa mau menyerah saja. Semoga kita semua selalu dan semakin dikuatkan dalam pengharapan yang benar dan semoga kita semakin peka untuk menerima jawaban Tuhan atas setiap pengharapan kita. Tuhan memberkati!

0

Mukjizat atau Dongeng

Saya percaya di balik kecanggihan teknologi dan pengakuan akan kecerdasan manusia, segala sesuatu terjadi atas campur tangan Yang Ilahi, yang tidak akan bisa kita pahami seutuhnya dengan akal budi kita.

Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah Adorasi Online, saya merasa Tuhan mengingatkan saya tentang bahaya dari kebiasaan merasionalisasikan segala sesuatu. Saya teringat sebuah percakapan dengan seorang rekan yang dengan semangat menjelaskan tentang peristiwa 10 tulah kepada bangsa Mesir pada zaman Nabi Musa dari sudut pandang ilmiah. Penjelasan itu seolah menggiring pemikiran kita untuk menisbikan kuasa adikodrati yang ada di luar manusia. Seolah semua kejadian itu bisa dijelaskan dengan akal budi manusia, sehingga tidak ada yang namanya mukjizat, bahkan lebih jauh lagi pandangan-pandangan ini pada akhirnya mengarah pada pemikiran bahwa Tuhan itu tidak ada. Manusia adalah makhluk tertinggi yang bisa mengatur dan menguasai segalanya.

Bagi manusia modern, pandangan semacam ini seolah bukan hal yang aneh. Seiring dengan berkembangnya kecerdasan manusia untuk menciptakan teknologi, pemikiran bahwa manusia bisa melakukan segalanya juga semakin marak. Kesombongan, dosa yang paling kuno dan konon paling dibenci Tuhan, sedikit demi sedikit merayap masuk di balik kekaguman akan kecerdasan manusia. Salah satu contoh nyata adalah berkembangnya aliran-aliran kepercayaan yang berpusat pada diri manusia. Meditasi-meditasi ‘modern’ yang menghilangkan pusat meditasi sejati dan mengklaim bahwa diri kita adalah Yang Mahakuasa. Semua hal ditelaah secara rasional. Bahkan kejadian-kejadian di masa lalu yang sejak lama dipercaya sebagai karya Tuhan, dirasionalisasikan dan dibuat menjadi seolah-olah itu tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Tuhan itu hanya imajinasi manusia, Tuhan itu tidak ada, atau bahkan lebih parahnya, ada yang meyakini bahwa manusia sendirilah pusat dari semesta.

Continue reading
0

Memandang dengan Cinta

Dalam Adorasi online beberapa waktu yg lalu, saya merasa Tuhan mengingatkan saya tentang sesuatu yg mungkin sering saya lupakan. Memandang Dia dengan cinta.

Seringkali ketika saya mengikuti perayaaan Ekaristi atau Adorasi, saya juga merasa sulit untuk sungguh-sungguh mengimani bahwa Tuhan Yesus sungguh hadir dalam rupa Sakramen Mahakudus. Nah, biasanya sih ya saya nggak terlalu memikirkan itu, jadi ya lanjut saja ibadah seperti biasa.

Tapi…

Terkadang-entah bagaimana-saya juga bisa merasakan kehadiran Tuhan yg sungguh nyata dalam Ekaristi, Adorasi, bahkan dalam doa pribadi.

Pengalaman Adorasi kemarin mengingatkan saya bahwa setiap perasaan itu (atau bahasa kerennya “hiburan rohani”) adalah anugerah dari Tuhan semata. Memang, tidak setiap saat dalam doa kita diberikan rahmat itu, tetapi bersyukurlah jika kita diberi rahmat itu.

Buat orang yang logis, mengimani kehadiran Tuhan sering jadi sesuatu yg sulit. Saya teringat tulisan Paus Fransiskus dalam Surat Ensiklik Lumen Fidei. Dalam surat tersebut ditulis bahwa Iman sangat erat kaitannya dengan Cinta. Beriman bahkan dapat diibaratkan seperti orang yg sedang jatuh cinta. Kita seperti hanyut dalam suatu perasaan yg kuat, yg bahkan mampu “mengalahkan” pikiran2 logis kita. Karena itu banyak orang bilang, kalau orang sedang jatuh cinta dia tidak bisa berpikir dengan benar šŸ¤£šŸ¤£šŸ¤£.

Di sinilah saya diingatkan bahwa mencintai Tuhan jauh lebih penting daripada hal-hal lain. Orang juga bilang “cinta itu buta”. Sebenarnya saya tidak setuju dengan pepatah ini, tapi dalam hal mencintai Tuhan saya rasa cinta bisa jadi harus ” buta”. Maksudnya???

Continue reading
0

FAMILY SEAL

A few days ago I had a dream. I cannot remember everything clearly, but there’s a scene which I didn’t forget when I woke up.

In that dream I was walking with some of my friends ( I cannot recall who they were, just remember that they’re my friends). We were passing an old and scary bridge. The situation was dark. Then we saw there’s an old door. It’s strange that we’re not afraid. We ended open that door and enter the room behind it. I can’t remember what was inside the room. The scene was jumped to when the room’s guide arrested us. He said that we should be punished because we had opened a forbidden door. Well, I don’t even feel it’s fair because I think I didn’t see “forbidden” sign there. But deep inside somehow I knew that we were wrong by open that door.

Then the guard told us that the punishment is to die or to cut our wrist and ankle. Sounds horrible. But once again, it’s strange that I don’t really scare hearing that. After the guard told us the punishment, I told him that I prefer die than to be limbless. Have no hands and foot is the same as die, moreover I will be a burden to my family, I said. Then the guard seemed touched by my words (He seems like a guard who only doing his job, not a brutal man who loves torturing). Then he went for a while and suddenly he came back with a big smile on his face. He said, we’re freed! What? How come? He handed me a blue letter. There’s a writing on it but I can’t remember exactly what it’s said. Fortunately, the guard told us what the letter said: “Let them free because they are My children.” It was strange, first, because the letter has two big hole on it. So some of the sentence seems cut, but the guard didn’t care about it. And second, the guard was very happy! He let us go with joy. He even put up that letter in their dining room so that everyone can see it!

After that I woke up and I wonder, what was that dream about? I cannot easily forget that part of the dream, especially that strange letter. Then I realized that it was the Feast of Mary Mother of Carmel. I decided to join an evening mass after work hour. I had no idea to relate my dream with this mass, until the Eucharistic Prayer. When the Pastor lift up the Holy Host, I realize that it was THAT host! The holes I saw on the letter in my dream was that size! The bigger hole is the host lifted by the priest, and the smaller one is the host shared to the people. I was quite shocked. Then I remember what’s written in Scott Hahn’s book I’d read few months ago. “And we have been made adopted sons and daughters by Baptism….” and we’re communed in the family of God through receiving the body of Christ.

While they were eating, Jesus took bread, and when he had given thanks, he broke itĀ and gave it to his disciples, saying,Ā ā€œTake and eat; this is my body.ā€ Then He took a cup,Ā and when He had given thanks, He gave it to them, saying,Ā ā€œDrink from it, all of you.Ā This is my blood of the covenant,Ā which is poured out for many for the forgiveness of sins.” (Matthew 26:26~28)

I cannot stop thinking about that event. I was reminded that I, a rebellious child, who supposed to be punished and die, was saved because God has adopted me as His child. He remind me the ‘seal’ of His children. It’s through the communion with His Church. At that time, it was revealed to me that the smaller hole means, I have to received Eucharist, living in prayer, but at the same time, the bigger hole–the host lifted by the priest during the Eucharistic prayer–reminds me that I cannot live well by my own. I should be that part of the Church communion. Only by these two seals, I will be acknowledged as His child.

It was a quite emotional moment for me. For so long, I was reminded by that dream, how much God Our Father loves us. We should be proud not because of what we have, but because of Who Our Father is. And to remember that the price of that seal is not cheap, it’s the sacrifice of His Only Son, Jesus, to be crucified, only because of His Eternal love for us. Another thing is, I know I can’t save myself. I have to think and do more for this community, for the church where I became a part of it.

Sharing this dream and what it reveals to me, is not to show you that I’m capable of interpreting dreams, not at all (I was often clueless about my dreams). But it’s to remind you, especially my dear Christian brothers and sisters, that we should remember this: we are truly children of God. And we can’t act by our own. We bring this ‘family name’ along our lives. It will show the world of who our family is. So, if we really know and understand that we have the honor of our heavenly family in our words, act, and thought, would we still live carelessly?

Finally, again, and I will never be bored to remind you this: God loves us! It’s something that you might have been heard millions times, but you can’t just hear it. Feel it. Live in it. God loves us. He is a Loving Father, who waits us patiently to come back to Him, even after we broke our seal and abandoned Him. You know what, the seal might be broken, but it can’t be erased. Be thankful for our Baptism and we should live joyfully because of it. Because we have an Amazing Loving Heavenly Father, always care and waiting for us.

And I think, it’s not a coincidence that this dream happened at night before the feast of Mary Mother of Carmel. It reminds us again, of our heavenly family.

Saint Mary Mother of Carmel, pray for us. God bless you šŸ™‚

0

CAPTIVATED

Entah kenapa setiap lihat angka 32 tahun yg teringat pertama adalah.. itu masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia šŸ˜„šŸ˜„šŸ˜„.

Menarik bahwa setelah 32 tahun dipimpin oleh Pak Harto, Indonesia memasuki era reformasi. Dan bukan kebetulan kalau di penghujung usia 31 tahun saya, banyak hal yg terjadi terasa seperti “masa reformasi pribadi” buat saya.

Saya mencoba merefleksikan pengalaman selama setahun sejak ulang tahun saya tahun lalu, tapi rupanya pengalaman saya akhir2 ini sangat mendominasi ingatan saya. Dalam tulisan2 saya sebelumnya, khususnya sejak PSBB dan wabah Covid19, saya telah membagikan pengalaman “perjumpaan” istimewa saya dengan Tuhan. Dalam bahasa romantis, saya bisa bilang pengalaman itu adalah saat di mana Tuhan menyentuh hati saya lebih dalam lagi.

Tidak pernah terbayang saya akan mengalami perjumpaan cinta yg istimewa denganNya. Kenapa istimewa? Karena selama beberapa waktu secara periodik saya merasakan sentuhan2 cinta Tuhan, baik dalam Ekaristi, Adorasi, bahkan dari lagu roman “duniawi” yg entah bagaimana, saya merasa Tuhan ‘mengirimkan’ lagu cinta itu utk saya. Yang terakhir ini saya dengar ketika dinyanyikan oleh Jamaica Cafe di openingnya Opera Komedi Samadi yg saya saksikan di youtube. Buat yg penasaran, judul lagunya “Karena Ku Tahu Engkau Begitu” šŸ˜„šŸ˜„šŸ˜„ Saya kasih cuplikan reff nya yg sempat membuat saya senyum2 sambil bilang dalam hati, “Tuhan… apaan nih… “

Continue reading
0

Mendengarkan Tuhan

Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 16:17)

Ketika merenungkan bacaan Injil hari ini, saya tertarik dengan perkataan Yesus di atas. Mengapa Yesus berkata keada Petrus “Berbahagialah engkau… “ ?

Saya membayangkan Petrus yg dengan hati berkobar-kobar menjawab pertanyaan Yesus. Setelah itu Yesus berkata kepadanya, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.”

Jika kita membaca ayat sebelumnya, Yesus bertanya kepada murid-muridNya. “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” dan para murid memberikan jawaban dari apa yg mereka dengar dari orang-orang (manusia) . Tetapi ketika Yesus bertanya kepada mereka, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Menarik bahwa hanya ditulis Petrus yg menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”

Satu pesan penting yg saya tangkap dari renungan ini. Yesus menunjukkan bahwa apa yg membuat kita bahagia adalah ketika kita mendengarkan apa yg dikatakan Tuhan, bukan apa yg dikatakan manusia. Allah ada dalam hati kita semua. Ia selalu rindu agar kita mau mendengarkanNya. Sayangnya, seringkali kita lebih suka mendengarkan apa kata dunia. Kita sering mengabaikan firman Tuhan, hanya karena seolah itu tidak masuk akal, kuno, sulit, tidak penting, dll. Padahal, Yesus tahu bahwa apa yg dinyatakan oleh Allah, justru itulah yang paling penting. Justru itulah yg memberikan kebahagiaan sejati.

Continue reading
0

Sebutir Debu

Aku hanyalah sebutir debu

yang takkan berpindah barang sejengkal, kecuali sang Angin membawaku pergi

Aku hanyalah sebutir debu

Jika aku sampai ke tempat yang tinggi,

Itu adalah karena Angin membawaku naik.

Jika aku turun ke tempat yang rendah,

itu juga karena angin membawaku ke sana.

Aku hanyalah sebutir debu

Yang tak punya jasa dan tak elok rupa

Yang mestinya tak banyak berharap aku bisa menjadi sesuatu yang berharga

Yang seyogyanya tak berpikir aku akan bisa melakukan hal-hal besar

Aku hanyalah sebutir debu

Yang mengira diriku akan tenang tanpa Angin yg merecokiku

Yang menyangka kedamaian hanya akan kudapat ketika aku menghabiskan waktu dengan caraku,

Yang berharap akan kebahagiaan di luar kesusahan,

Sukacita yang terpisah dari dukacita,

Keindahan yang tidak mengandung kelemahan…

Tetapi Angin membawaku pergi,

Meninggalkan ketenanganku, kedamaianku, kebahagiaanku, sukacitaku, dan keindahan yang tengah kunikmati…

Aku ingin memberontak, melepaskan diri dariNya,

Tapi apa daya aku tak dapat menahan kuasaNya.

Dengan terpaksa aku pergi mengikutiNya,

ke mana ia membawaku, ke sanalah aku pergi dan diam

sampai waktu Ia membawaku pergi lagi ke tempat yang lain.

Aku takut akan perjalananku bersamaNya.

Aku takut akan hal-hal yg tidak kukenal.

Aku takut akan kelemahanku yang semakin jelas terlihat sepanjang perjalananku.

Namun,

Angin tidak pernah mengeluh walau aku selalu mengeluh.

Angin tidak pernah membuangku walau aku sering ingin melepaskan diri dariNya.

Angin tidak pernah meninggalkanku walau aku sering mengacuhkanNya.

Pada akhirnya, Angin-lah yang selalu menjagaku.

Ia menunjukkan kepadaku..

Keindahan di balik kelemahan,

Sukacita di tengah dukacita,

Kebahagiaan di antara kesusahan,

Kedamaian di tengah kesibukan,

Ketenangan di dalam pusaranNya,

Ya, pada akhirnya aku menemukannya,

Tempat teraman bagiku,

Di mana aku tak perlu lagi takut dan cemas akan apa pun..

Tempat di mana aku dapat berdiam dengan tenang, meski keriuhan terjadi di sekitarku.

Aku aman di dalamNya.

Di tengah pusaran Angin aku berdiam,

Menikmati kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya,

Menikmati keindahan cintaNya,

yang selama ini terselubung oleh ketakutanku akan Dia.

Ternyata, di dalam Angin-lah aku menemukan cinta.

Di dalam Angin aku menemukan diriku,

Aku mengetahui siapa diriku,

Aku, sebutir debu.

Saat aku merasa tak layak Kau cintai,

Saat aku melihat diriku dan menyadari

bahwa aku hanyalah sebutir debu,

Engkau melingkupiku,

dan berbisik lembut kepadaku,

“Engkau adalah kekasihKu, ”

Maka aku pun memberanikan diri

Menerima uluran tanganMu

Untuk meleburkan diri ke dalam pusaranMu

Mengikuti pergerakanMu

Hingga aku kehilangan diriku

Dan menjadi satu denganMu,

Kekasihku

0

SATISFIED

ā€œThe Eucharist is the… sacrament of the Bridegroom and of the Brideā€ (John Paul II).

Ini adalah cerita pengalaman dan perjalanan saya tentang mencari kepuasan. Tulisan ini adalah refleksi dari pengalaman dimana saya merasa Tuhan membuka mata saya akan makna dari kepuasan yang sejati.

Di antara tujuh dosa pokok yg biasa disingkat “bongkibulgelimama” (somBONG, KIkir, caBUL, GELojoh, Iri, MAlas, MArah) mungkin dosa percabulan adl dosa yg paling memalukan utk diakukan oleh sesorang. Dosa ini sering ditutup-tutupi, dibahasakan sedemikian rupa sehingga tidak terlalu tampak memalukan saat pengakuan dosa–setidaknya itu yg saya lakukan hahaha.

Kelemahan ini adalah salah satu yang cukup berat untuk saya perangi. Mungkin salah satu alasannya karena pandangan umum yg menganggap bahwa kelemahan ini sangat memalukan, akan sangat menjatuhkan harga diri seseorang jika diakui pada orang lain, sehingga jadi sering disembunyikan dan tidak diceritakan pada orang lain. Padahal di situlah kekuatan dosa.. makin kita sembunyikan, makin kuat pula ikatannya thd jiwa kita.

Singkatnya, saya pun berjuang dgn kelemahan ini. Seringkali saya berdoa mohon pertolongan Tuhan agar Ia membantu menghapus kelemahan ini dlm diri saya. Namun toh sesekali saya masih jatuh juga, dari yg paling ringan, seperti membuka artikel yg menjurus ke hal-hal tak senonoh, mengikuti percakapan2 yg memancing pikiran kita utk sedikit banyak jadi membayangkan peristiwa cabul..sampai yang tingkat berat–yg tdk perlu saya sebutkan lah ya haha..nanti malah jadi pengakuan dosa di sini.

Nah, suatu ketika godaan ini muncul lagi.. di suatu malam yg sepi, di tengah masa-masa pembatasan aktivitas di luar rumah alias PSBB ini. Seperti biasa, saya pun berdoa kepada Tuhan untuk menolong saya agar dapt mengalahkan godaan ini. Karena sebenarnya sudah bosan juga berperang dgn kelemahan ini, maka saya pun mengeluh kepada Tuhan. Dan dalam keluhan kali ini tiba2 saya berpikir, “Tuhan, kalau muncul hasrat utk makan, kami bisa makan.. dan itu tidak berdosa. Dosa kalau makannya kebanyakan, jadi rakus alias gelojoh. Tapi kalau hasrat seksual yg muncul? Bahkan di Alkitab dikatakan, berpikiran cabul saja sdh dosa. Terus saya harus gimana dong kalau keinginan itu muncul??? Kenapa sih keinginan ini tidak Kau munculkan setelah saya menikah saja??”

Note: Di sini saya masih berpikir bahwa saya harus “menghilangkan” keinginan2 itu sampai saya menikah. Ini juga pemahaman yg keliru, yaitu bahwa setiap orang yg punya kelemahan ini seharusnya menikah saja–dan ini benar2 pemikiran yang salah besar! Jangan pernah berpikir bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan untuk lepas dari dosa percabulan. Bahkan mereka yg sudah menikah dan tidak pernah selingkuh pun masih bisa jatuh dalam dosa percabulan.

Kembali ke pertanyaan saya kepada Tuhan tadi. Percayalah, ketika kita bertanya dengan jujur, maka Tuhan akan memberikan jawabanNya. Karena “barangsiapa yg mencari akan mendapat” Nah, setelah saya bertanya (sambil protes) kepada Tuhan tentang hasrat seksual tadi, Tuhan pun memberi saya jawaban…yg pada waktu itu saya anggap jawaban “klise”.

Continue reading

0

IKA SULISTYA

Sejak akhir tahun lalu, saya menjadi tertarik untuk menafsir mimpi, tepatnya setelah membaca buku Menafsir Mimpi-Bahasa Sandi Tuhan karya Pastor Wokfgang Bock, SJ. Tentu saja buku ini tidak sama dengan buku tafsir mimpi yang mengartikan dengan “sok tau” misalnya kalau mimpi gigi copot artinya akan ada saudara yg meninggal dll… Memang bisa jadi dalam banyak kasus, hal itu benar. Tapi toh tidak selalu demikian. Saya tidak percaya dengan tafsir mimpi seperti itu. Makanya waktu membaca bukunya Pastor Wolfgang ini saya senang sekali karena saya akhirnya menemukan perspektif baru tentang mimpi. Alasan lainnya adalah, karena saya termasuk lumayan sering bermimpi.

Mimpi adalah bahasa sandi Tuhan. Ilmu-ilmu psikologi mungkin punya pendapat lain, tapi secara pribadi saya sangat menyukai pendapat yg disampaikan di buku Pastor Wolfgang ini. Dikatakan bahwa tidak ada pemberian Tuhan yg sia-sia, termasuk mimpi. Setelah membaca buku itu, awalnya saya merasa ragu-ragu, apakah benar kita bisa “menguak” bahasa sandi Ilahi? Lalu saya pun mencobanya. Saya berdoa sebelum tidur, “Tuhan, jika ada sesuatu pesan yg ingin Engkau sampaikan keapdaku lewat mimpi, maka sampaikanlah, dan bantulah aku utk dapat memahami maksudnya.” Tanpa menunggu lama, malam itu ternyata saya benar-benar bermimpi! Ketika bangun besok paginya, saya segera mencatat poin2 yg saya ingat dari mimpi itu. Barulah pada malam hari sebelum tidur saya mencoba untuk “mengartikan” mimpi itu.

Continue reading

0

Karya Pertama

Haiii.. mungkin tulisan ini agak panjang, tapi jika Anda bersabar membaca sampai akhir, semoga Anda mendapat berkat melalui pesan kasih Allah yg coba saya sampaikan lewat renungan pengalaman saya ini. Ini bukan tutorial merajut, ya… hehehe.. cuma perlu saya ceritakan sedikit supaya teman2 bisa sedikit memahami pengalaman saya ini. Selamat membaca šŸ˜„

Beberapa waktu yg lalu, sambil isi waktu luang karena harus stay at home, saya mulai belajar bikin “amigurumi”. Apaan tuh? Buat yg belum tau, amigurumi ini adl istilah utk boneka yg dibuat dengan teknik rajut (crochet).

Nah mulailah saya beli alat, bahan, dan buku pol amigurumi. Setelah lihat2 contoh pola yg ada, saya memutuskan untuk bikin boneka penguin.. kayaknya gampang nih.. pikir saya waktu itu. Karena alat masih terbatas (waktu itu cuma modal hakpen aja-yg ga tau apa itu hakpen silakan googling ya hehe) , mulailah saya merajut dengan berusaha mengikuti pola di buku. Dalam hati saya heran kok orang pada bilang susah bikin boneka begini aja ya..padahal kayaknya gampang. Tekniknya cuma gitu2 aja.

Ternyata….

Kesulitan bukan pada teknik, tapi pada ketelitian dan keakuratan saat mengerjakan. Fyi, untuk membuat amigurumi yg bagus diperlukan hitungan tusukan yg presisi. Nah ini yg bikin saya merasa gagal. Karena sombong, saya percaya dengan ingatan saya.. misal harusnya bikin 30 tusukan, saya cm mengandalkan ingatan.. tiba-tiba ada gangguan sehingga saya harus berhenti dulu merajut.. pas balik mau melanjutkan saya lupa tadi sudah hitungan ke berapa…belum lagi salah posisi merajut, dll.

Dan alhasil, di seperempat bagian tubuh si boneka penguin ini bentuknya jadi gak karuan. Tapi mau dibongkar kok sayang juga ya. Pikir saya toh ini karya pertama saya, gak apa lah jelek2 juga saya lanjutin saja, sebagai kenang-kenangan belajar bikin amigurumi pertama kali. First try doesn’t always succeed kan? Hehe.

Ketika saya mulai melanjutkan untuk merajut penguin itu walau dengan bentuk awal yg gak karuan, tiba-tiba saya merasa Tuhan mengingatkan saya bahwa Ia pun telah dan akan selalu melakukan hal yang sama. Maksudnya?

Mungkin banyak di antara kita yg merasa diri kita jelek, gagal, berdosa, tidak layak dicintai, tidak lagi punya harapan… tapi ingatlah.. sekacau apa pun masa lalu kita, Tuhan selalu dapat membentuk sebuah karya yang indah dari semua itu. Dan Tuhan selalu mencintai kita sekacau apa pun citra diri kita-menurut pandangan kita.

Continue reading